Jumat, 05 Desember 2008

Meneladani Ketaqwaan Nabi Ibrahim

Taqwa dalam arti dinamis adalah proses penelusuran keyakinan sedalam-dalamnya hakekat kepercayaan terhadap kekuasaan Allah secara terus menerus melalui berbagai macam peribadatan.

Ibadah bukan saja pengertian terbatas menyangkut hubungan perorangan dengan Tuhan secara langsung. Tetapi meliputi segala kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan individu (perorangan) dan bersama dalam bentuk masyarakat, bangsa bahkan pergaulan internasional.

Ibadah dalam pengertian yang luas itu meliputi ibadah ritual dan ibadah social. Tentu sejauh tak bertentangan dengan prinsip-prinsip peribadatan dan ketauhidan kepada Nya

Bertitik tolak pada pandangan itu, tak keliru bila kita memandang dengan mata hati kita peristiwa penyembelihan nabi Ismail yang masih remaja, oleh nabi Ibrahim sang ayah. Peristiwa itu adalah peristiwa sejarah yang kemudian melahirkan syari’ah dalam peribadatan haji umat islam sekarang ini.

Rasanya memang tidak akan kita jumpai sepanjang zaman, jika tidak kita kaitkan dengan hal ihwal kenabian. Bagi para nabi tak mustahil untuk dikenai peristiwa sejenis itu. Sebab peristiwa semacam itu pada diri nabi sendiri dimaksudkan sebagai ujian peningkatan tingkat kenabiannya. Dan seperti kita ketahui bahwa Nabi Ibrahim mendapatkan banyak cobaan dari Allah SWT, yang pada dasarnya meningkatkan terus menerus akan tingkat keyakinannya kepada Sang Pencipta itu. Namun semua peristiwa itu diluar jangkauan kemampuan manusia.

Sebagai contoh bagaimana mungkin Nabi Ibrahim tak hangus dibakar, atau ketika pedang tajam dan terhunus lekat di leher anaknya yang sudah rebah siap mati demi peribadatan yang sebenar-benarnya, tahu-tahu Allah menggantinya dengan seekor kambing. Allah memanggil nama Ibrahim dengan lembut dan nyaring di hati Ibrahim.

“dan kami panggillah dia. Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikian kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik”. (QS. As-Shaafat, 104-105)

sehingga kepala yang terpenggal bukanlah kepala Ismail, melainkan kepala kambing pengganti yang disiapkan Allah melalui malaikatNya.

Sungguh itu adalah peristiwa mu’jizat, luar biasa dan tak terjangkau akal manusia. Tetapi manusia diharapkan melihat dengan penuh kesadaran hati kecilnya agar peristiwa-peristiwa kenabian semacam itu dijadikan contoh.

Mencontoh peristiwa semacam itu untuk peningkatan keyakinan sebenar-benarnya kepada kekuasaan Allah tentu saja tidak mudah. Tetapi manusia dapat dengan mudah mengambil ibarat, menatap sekitar, adanya bencana Alam dan tragedi kemanusiaan seperti yang terjadi akhir-akhir ini.

Coba saja kita tatap dengan mata hati pergantian siang dengan malam. Juga perputaran bumi 24 jam sehari semalam. Rembulan berputar selama 29-31 hari mengitari matahari dan memantulkan sinar ke bumi, makin tua tanggalnya makin kecil sinarnya. Begitu pula perbedaan warna kulit manusia, bahasanya, bentuk hidungnya, rambutnya dan persebarannya di atas bumi secara terus menerus. Itu semua menurut ketetapan Allah (Sunnatullah).

Walau saya menyebutkan manusia, tak semua perilaku manusia itu termasuk dalam sunnatullah. Manusia dalam arti fisik digolongkan kepada peristiwa sunnatullah, namun manusia dalam arti piskis tak dapat dimasukkan kedalam sunnatullah itu.

Sebab, manusia punya kala, rasa, perasaan, emosi, bakat, dan pembawaan sendiri-sendiri menurut fitrahnya. Fitrah manusia dalam arti psikis itu bersifat dinamis, berkembang sendiri menurut kemampuan yang dibawanya itu.

Lalu dinamika macam apa yang dikehendaki ? bagi kita makhluk beriman sepantasnya menginginkan perkembangan yang diridhoi Allah. Perkembangan yang diridhoi Nya dapat diperoleh dari perbuatan-perbuatan yang berlandaskan syara’ dan dimotori oleh keyakinan ketuhidan yang kuat.

Mencontoh peristiwa kenabian seperti diatas, memandangnya dari dua sisi. Sisi pertama sudut alamiyah, sisi kedua pandangan syariah.

Dari sudut alamiyah ini bukan mengambil ibarat ketegaan penyembelihannya. Tetapi pada berbagi segi yang dapat dulakukan manusia pada umumnya.

Pada sudut alamiyah kaderisasi dan edukasi Ibrahim terhadap puteranya sangat menarik. Ibrahim memang sangat intens berdoa dan berusaha agar mendapatkan anak sholeh. Seperti disebutkan dalam surah Ash-Shaffat ayat 100;
…………


artinya : Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang sholeh

Doa itu dikabulkan Allah, bukan saja beliau mendapatkan satu putra, bahkan dua orang putra. Putra pertama Ismail dari istri keduanya yaitu Siti Hajar. Putra kedua Ishak dari istri pertamanya Sarah. Dua putra Ibrahim itu sama-sama diangkat Allah menjadi nabi, berkat didikan dan kaderisasi ayahnya.

Kaderisasi Ibrahim terhadap kedua putranya dilandaskan pertama sekali pada ketauhidan kepada Allah. Artinya penanaman keyakinan akan kekuasaan Allah segala-galanya. Untuk itu Nabi Ibrahim menempatkan